Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan
Banyak cerita yang mestinya kau saksikan
Di tanah kering bebatuan....”
Syair itu sangat indah sekali. Seperti mewakili rasa di hati. Namun di sini kurasakan lain. Perjalanan yang kulalui bukan menyedihkan tapi mengesankan. Tak hanya senang kurasakan, sedih, bangga, haru, dan banyak hal lainpun turut mewarnainya.
Rasa senang
Senang sekali diberikan kesempatan sejenak tinggal di Pora. Tetangga- tetangga yang baik, saling tolong menolong, membantu, dan berbagi. Mulai dari berbagi buah- buahan, saling tolong dalam gotong royong, menasehati dalam kebaikan, ikhlas dalam beramal. Mereka orang- orang yang berjasa dalam hidupku. Memberi teladan bagiku yang masih awam akan arti kebersamaan. Mereka, bagian dari penoreh masa depanku kelak.
Rasa sedih
Rasa sedih ini sering muncul tiba- tiba. Teringat akan orang taua, saudara- saudara, kawan- kawan. Ketika sepi merasuk ke dalam sukma, rasa itu turut menyelinap. Mengingat masa- masa lalu bersama. Dimana kasih sayang mereka yang biasa menyelimti, seketika tak terasa di sini. Hanya sepi yang tersisa. Meski sering kulihat bintang- bintang di langit sebegitu banyak Dia ciptakan untuk menemani, meski kulihat bulan yang seolah memantulkan senyuman mereka, tapi terkadang sepi dengan segala pedang kerinduan tetap menusuk kalbu. Bagiku, itu adalah sebuah warna kehidupan. Karena rindu tak selamanya menyedihkan, tapi dapat pula menguatkan. Menguatkan jiwa dan semangat untuk dapat memberikan kebanggaan bagi mereka dan untuk dapat secepatnya kembali pada mereka.
Rasa bangga dan haru
Kebanggaan itu terpancar jelas dari wajah- wajah lugu mereka. Ya, mereka murid- murid SMP Pora. Petang itu selepas maghrib , mereka datang dengan 3 piala, piagam, dan amplop uang pembinaan. Wajah mereka tersenyum bahagia. Dengan kegirangan mereka menceritakan asal piala itu. 3 piala yang ketiganya diperoleh dari juara 2 lomba voli putra, voli putri, dan paduan suara. 3 piala yang diterima saat upacara penurunan bendera di kecamatan yang mereka ikuti tanpa mengenakan seragam, tanpa sepatu, dan tanpa pendampingan guru dan mereka pulang ketika matahari mulai tenggelam, perjalanan yang gelap dan sepi di antara beberapa kampung. Yah, tapi itulah yang menjadi kebanggaan karena piala itu mereka terima dengan tangan mereka sendiri dari Pak Camat. Terharu rasanya melihat pancar bangga wajah- wajah itu. betul- betul tak terlukiskan. Piala- piala pertama bagi SMP Pora.
Rasa bahagia
Bahagia adalah ketika kita dapat menerima apapun ketentuanNya dengan penuh ikhlas, entah itu rezeki, kehilangan, dan sebagainya. Sulit memang, tapi ketika ingat bahwa semua yang ada di dunia ini adalah milikNya dan Dia adalah Yang Maha Kuasa mengatur semua, bahagia itu akan datang dengan sendirinya. Merasuk perlahan dan senyum pun terkembang. Pernah suatu saat ketika lebaran tiba. Malam Idul Fitri terasa begitu hampa. Takbir dimulai setelah shalat Isya karena menunggu sidang Isbat yang menurutku sangat tidak adil karena mementingkan wilayah Indonesia Barat saja. Takbir hanya berkumandang hingga pukul 20.30 WITA. Suasana lain yang sangat berbeda dengan kampung halaman. Takbir berkumandang sepanjang malam, menentramkan jiwa. Dan kali ini sebuah tamparan yang sangat pedih, dimana ketentraman itu harus diusahakan sendiri. Tanpa sadar selama ini orang lainlah yang selalu mengingatkan padaNya, dan kali ini dan mulai saat ini harus dari diri sendiri.
Esoknya lebaran yang sepi meski masjid penuh ketika shalat Ied. Rasanya menyesal ketika dulu tidak pernah serius ketika ritual sungkem pada orang tua. Di sini terasa betul sakral dan kuatnya patri jiwa dalam adat sungkem itu. kebersamaan keluarga sangat dirindukan, tapi di sini ada saudara- saudara seiman dan mereka adalah juga keluargaku. Rasanya sepi itu telah musnah. Bahagia terasa jika semua dapat diambil hikmahnya.
piknik bersama warga Pora |
Hari kedua lebaran. Oto Cerita tampak padat, penuh, dan sesak. Di dalam ada berjubel penumpang saling pangku dan berdesakan di kursi masing- masing. Bahkan ada yang duduk di bawah dekat pintu, di atas, dan menggantung. Perjalanan ke pantai Paga dan Koka dimulai. Perjalanan selama 4 jam dan berliku- liku tak segan membuat isi perut meronta. Alhasil banyak penumpang mabuk dan muntah. Mantap sekali, yang tidak mabukpun ikut pusing dibuatnya. Belum lagi perjalanan pulang yang mesti tertunda oleh 2 ban oto yang pecah dan menunggu hingga tambalannya selesai. Lapar, kantuk, dan lelahpun melanda hingga malam tiba. Tapi, tahukah kawan, hal itu sama sekali tidak menyusahkan. Bahkan bahagia yang kurasa. Dapat piknik bersama- sama tetangga, saudara- saudara seiman. Ramai- ramai saling berbagi bekal dan bakar- bakar ikan bersama, makan bersama, jalan bersama. Kebersamaan itu sungguh hangat, kebersamaan yang tak terlupakan. Pora, I will miss you...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar