Hari itu, sekitar bulan Oktober tahun 2018. Entah untuk suatu alasan aku bersama suami dan dua anakku berencana ke kota Sorong. Kemungkinan saat itu jadwal imunisasi anak kedua. Anak- anakku saat itu yang sulung berusia sekitar 2 tahun dan adiknya sekitar 6 bulan.
Seperti biasa, pada hari-hari sebelum keberangkatan kami mencari hubungan. Kebetulan sekali Pak Buton, seorang pemilik kios terbesar di Sopen saat itu, berencana ke Sorong untuk berbelanja. Barang-barang di kiosnya sudah hampir habis. Ia bersama keponakannya, Falon, biasa berbelanja ke Sorong dan menginap di sana beberapa hari. Mereka mempunyai perahu dan mesin sendiri. Mereka juga mempunyai tempat tinggal di Pulau Buaya, sebuah pulau di dekat kota Sorong yang mayoritas dihuni orang Buton di salah satu sisinya.
Sekedar cerita. Dulu, aku pernah juga ikut Pak Buton ke Sorong tahun 2015. Dua kali malah. Saat itu angin selatan kuat sekali. Ombak besar. Aku ikut ke Sorong karena ada panggilan lewat radio, bahwa pegawai baru harus persiapan mengikuti prajabatan di kota. Kala itu belum ada signal di kampung Sopen. Hanya berita radio yang menjadi andalan. Di tengah perjalanan ternyata ombak besar sekali. Sebenarnya aku tak terlalu ingat, tetapi pak Buton sering sekali mengungkit- ungkit cerita itu. Ombak putih di laut. Kepsek SMP yang saat itu menumpang dan duduk di depan tampak terbanting ke kanan dan ke kiri. Kami di belakang hanya tersenyum. Tampak lucu, beliau seperti orang yang bersilat. Hah... entah kenapa kami sempat tertawa, padahal itu kondisi yang menegangkan sebenarnya. Bahkan beliau bilang, ini kalau ibu hamil yang naik hampir pasti sangat membahayakan nyawa. Perahu terbanting- banting hebat. Itulah kenapa Pak Buton selalu bilang. "Ibu ini, saya akui dia berani. Biar ombak putih di laut dia tidak takut. Saya acungi jempol." Kira- kira begitulah ucapannya. Sejujurnya dalam setiap perjalanan mengarungi laut aku selalu berpasrah. Kuserahkan nyawaku pada Sang Pemilik Jiwa. Kami sempat singgal ke Pulau Buaya untuk membilas badan dan berganti pakaian. Maklum, jika ombak besar sangat wajar jika pakaian basah kuyup kena cipratan air laut.
Lanjut cerita tentang kedua anakku.
Pak Buton sudah memutuskan, kami berangkat hari selasa pukul 9 pagi. Pak Buton orang yang selalu bisa dipegang kata-katanya. Kalau jam 9 ya jam 9. Tidak akan molor. Namun, Pak Buton tidak bersama Falon. Dia sedang pulang kampung. Biasanya memang begitu, pak Buton dan Falon bergantian pulang kampung sekali dalam setahun. Kira-kira 3 bulan di kampung baru kembali lagi. Kukira Pak Buton yang akan bawa perahu, tetapi tidak. Ada perahu yang menjemput kami dari Sorong.
Menjelang pukul 9 pagi. Kami sudah berada di tepi pantai. Angin kencang sekali saat itu, sudah ada pertanda nanti ombak besar di laut. Apa boleh buat, insyaAllah kami yakin selama bersama pak Buton. Meski penglihatannya mulai kabur, nalurinya sebagai pelaut patut diacungi jempol. Pernah beliau mengalami kecelakaan di laut dan terapung di laut selama 1 jam. Alhamdulillah beliau masih diberikan keselamatan dengan adanya bantuan dari perahu yang lewat. Pengalamannya bekerja di kapal selama bertahun- tahun juga patut diperhitungkan.
Oleh karena itu saat kami bertanya, kira-kira amankah perjalanan kali ini dengan 2 anak kecil. Beliau bilang tidak apa-apa. Ini ombak tidak terlalu besar. Kami mulai tenang.
Tak lama, datanglah perahu dari Sorong yang menjemput kami. Apa yang terjadi kemudian? Sungguh di luar dugaan.
Ternyata, kami naik perahu pak Buton, sementara perahu dari Sorong tadi diikatkan ke perahu pak Buton. Sesaat sebelum berangkat pak Buton berkata, " tidak apa-apa to pak, kalau kita sampai Sorong sore?" Aku dan suami menjawab, tak apa. Dalam hati aku sangsi, mana mungkin sampainya sore. Ini kan berangkat pagi. Paling 2 atau 3 jam sampai. Tapi, yasudahlah. Aku tak terlalu memikirkannya.
Perjalanan kamipun dimulai. Motoris dari Sorong tetap menjadi motoris, sementara pak Buton sebagai penunjuk arah. Pada awal perjalanan angin masih berasa lumayan kencang yang berarti ombak juga lumayan besar. Namun ini belum apa-apa, belum terlalu terasa. Anehnya, pak Buton mengarahkan perahu ke sebelah kiri dari titik tujuan kami. Aku tidak bertanya, kemungkinan pak Buton menyeimbangkan dengan arah angin. Maklumlah, beliau pelaut ulung.
Perahu kami sudah mulai menjauh dari Sopen. Ombak di tengah ternyata tinggi sekali. Menurutku. Kami berkali-kali merasa seperti perahu terlempar ke atas dan jatuh berdebum ke permukaan laut. Rasanya seperti terbanting-banting. Atau seperti naik wahana "ombak banyu" tetapi ini versi nyata. Aku memegangi kepala anakku yang masih bayi. Berharap tidak terjadi sesuatu yang fatal sebab bantingan perahu yang sangat keras. Anak pertamaku dipangku suamiku. Dia juga mulai pucat.
Air laut menyiram kami berkali-kali seiring bantingan perahu. Kami menggunakan payung untuk menangkisnya. Sayangnya, hujan turun cukup deras sehingga baju kami basah kuyup. Payung yang kami pakai tak kuasa menangkis derasnya hujan. Kasihan anak-anak, mereka juga basah bajunya. Meski tak sampai kuyup, tetap saja dingin.
Masalah kami tak berhenti di situ. Ikatan perahu di belakang ternyata putus. Di tengah hantaman ombak, perahu harus lagi dan lagi berbalik mendekati perahu di belakang, mengikatkan kembali talinya dan kembali melaju ke arah tujuan. Dan tahukah kawan, putusnya talu perahu ini bukan satu dua kali melainkan berkali-kali. Astaghfirullah.. cobaan apakah ini. Suamiku juga mulai mual dan khawatir. Namun, pada kejadian keempat atau kelima kami berbalik, akhirnya pak Buton berpindah ke perahu belakang dan naik di sana untuk menjaga ikatan agar tak putus lagi.
Aku dan suamiku melongo. Melihat betapa pak Buton rela berada di perahu belakang dengan bantingan yang lebih luar biasa. Bayangkan saja perahu ditarik tanpa ada barang apapun di dalamnya, dalam kondisi ombak yang tinggi. Salut sama pak Buton benar-benar menunjukkan jiwa pelaut sejati.
Sementara aku dan suami, masih bertahan dalam kekhawatiran akan kondisi anak-anak. Suamiku sudah tampak menahan pusing juga sepertinya. Apalagi anak sulung, dia lebih tampak pucat. Anak keduaku masih aman karena dia tidur. Namun, setidaknya kami mulai lega karena kemungkinan perahu tidak akan bolak balik lagi sehingga perjalanan akan lebih cepat.
Kota Sorong mulai nampak di kejauhan. Kami lega, sebentar lagi sampai. Perjalanan hingga ke Sorong berjalan lancar dan ombak mulai berkurang.
Alhamdulillah kami sampai di Sorong pukul 14.00. Betul kata pak Buton, hampir sore kami baru sampai. Itupun dalam kondisi basah kuyup. Kami segera turun dan menumpang di kios terdekat untuk mengganti baju anak-anak.
Syukurlah..
Perjalanan yang panjang dan mendebarkan telah terlewati sekali lagi. Menjadi kenangan untuk berbagi cerita di masa depan. Terimakasih pak Buton atas tumpangannya, juga memberikan kami pengalaman yang mengesankan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar