Kabupaten
Ende adalah salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang terkenal dengan
tenun ikatnya. Kain tenun ikat Ende sudah terkenal hingga mancanegara. Biasanya
para turis domestik dan mancanegara yang datang ke Ende meluangkan waktu untuk
membeli oleh- oleh khas Ende yaitu kain tenun ikat. Biasaya kain tenun ikat
Ende dapat berupa sarung, selendang, taplak meja atau sajadah. Ada pula yang
berupa potongan kain lebar biasa yang bisa digunakan untuk bahan baju.
Kain
tenun ikat yang berbentuk sarung di Ende biasa disebut dengan Lawo. Biasanya
para wanita menggunakan Lawo dipasangkan dengan Lambu atau pakaian atasan
berupa baju lebar dan longgar. Sementara para lelaki memakai atasan bebas,
dapat berupa kemeja dapat pula kaos. Namun, dalam acara- acara resmi biasanya
para lelaki menggunakan atasan kemeja.
Mejeng di depan alat pembuatan Kain Tenunan |
Jika
diperhatikan dengan seksama, masyarakat kabupaten Ende banyak mengenakan Lawo
dalam berbagai kegiatan sehari- hari. Di kota, Lawo banyak ditemui di pasar
atau toko- toko souvenir. Jarang sekali penduduk di kota yang memakai Lawo
dalam kesehariannya. Lain halnya dengan di desa. Pedesaan di wilayah Kabupaten
Ende banyak dihuni oleh penduduk lokal sehingga adat budayanya masih kental,
termasuk salah satunya adalah pemakaian kain Lawo dalam kehidupan sehari- hari.
Contoh Kain Tenun Lawo Ende |
Pada
tahun 2011 saya berkesempatan berkunjung ke Kabupaten Ende, tepatnya di Desa Pora
sebagai guru kontrak SM3T selama satu tahun. Desa Pora adalah salah satu desa
yang banyak dihuni oleh pengrajin tenun ikat Ende. Di desa Pora, pekerjaan
menenun kain dilakukan oleh kaum hawa. Pada awalnya pembuatan kain tenun
dilakukan untuk menambah penghasilan keluarga. Namun, kebanyakan penghasilan
utama masyarakat justru dari tenun karena harganya yang relatif mahal.
Pembuatannya sangat membutuhkan kerja keras, kesabaran dan ketlatenan. Satu
kain Lawo untuk laki- laki bisa dibuat dalam waktu dua atau tiga hari,
sementara Lawo untuk perempuan membutuhkan waktu sampai satu atau dua minggu
untuk proses pembuatannya. Maka wajar jika harganya juga jauh berbeda. Biasanya
kain Lawo untuk laki- laki hanya bermotif garis- garis dan Lawo untuk perempuan
ada berbagai motif. Harga Lawo untuk laki- laki berkisar antara Rp 150.000,00 -
Rp 300.000,00 sementara Lawo untuk perempuan berharga sekitar Rp 500.000,00 –
Rp1.000.000,00 tergantung pada kualitas hasil dan motifnya. Kain tenun ikat
dari Desa Pora terkenal bagus kualitasnya. Tenunannya bagus dan awet. Hal ini
disebabkan oleh proses pembuatannya yang melalui tahap- tahap khusus dan alami
sehingga warnanya bagus dan tahan lama meski bertahun- tahun lamanya.
Mejeng dengan Kain Tenu Lawo Ende Flores, NTT |
Selama
satu tahun tinggal di Desa Pora, saya sering mengamati proses pembuatan Lawo dari
mulai persiapan hingga pengerjaan tenunnya yang memakan waktu cukup lama. Saya
juga mengamati, begitu banyak penduduk menggunakan Lawo dalam kesehariannya.
Bukan sekedar untuk acara resmi saja, tetapi Lawo juga dipakai di rumah, di
kebun, dan dimanapun berada terutama bapak- bapak dan ibu- ibu. Menurut
pernyataan penduduk di Desa Pora, tidak semua wilayah di Kabupaten Ende menjadi
tempat pengrajin tenun ikat. Ada beberapa wilayah yang khusus menjadi sentral
tenun ikat Ende, ada pula wilayah yang khusus menjadi sentral pertanian.
Pesta
adat merupakan momen tahunan yang diadakan di setiap Desa di Kabupaten Ende. Saat
diadakan pesta adat, seluruh penduduk dalam satu dusun berkumpul dan menari.
Adat dan budaya begitu kental terasa, apalagi ketika para penduduk dengan
bersama- sama menari Tari Gawi dengan serempak. Pakaian yang digunakanpun sama.
Aturan di Desa Pora, siapapun yang mau mengikuti pesta adat wajib mengenakan Lawo.
Khusus wanita menggunakan atasan Lambu. Jadi dalam suasana tarian yang sakral
itu terasa sekali, Lawo menjadi salah satu kekhasan budaya Kabupaten Ende.
Melihat
begitu khasnya Lawo sebagai bagian dari budaya Kabupaten Ende, saya berniat
membawa oleh-oleh berupa Lawo ketika pulang dari Ende. Saya merasa Lawo
merupakan kain tenun ikat yang dapat menjadi simbol persatuan seperti yang saya
lihat dalam pesta adat di Desa Pora. Terbersit keinginan di hati saya untuk
membeli sepasang Lawo untuk saya dan suami saya nanti. Pada saat itu saya belum
punya calon suami. Saya tidak tahu entah dengan siapa saya akan menikah nanti.
Saya memesan dua Lawo Ende dari pengrajin tenun ikat di Desa Pora. Kedua kain
Lawo itu saya pesan khusus motif dan warnanya. Lawo wanita dengan warna kuning
dan Lawo laki- laki dengan warna kombinasi garis biru.
Sampai
saat saya menikah, kedua kain Lawo itu belum pernah saya pakai. Baru pada saat
saya sudah menikah, tiga tahun sejak Lawo itu saya beli, saya memberikan salah
satu Lawo untuk suami saya. Suami saya senang sekali menerimanya. Saya katakan
padanya bahwa saya sengaja membelikan kain Lawo ini untuknya, saya membelinya
sejak saat saya berada di Kabupaten Ende. Sampai saat ini, kedua kain Lawo itu
belum kami pakai. Keduanya masih tersimpan rapi di almari karena dua bulan
setelah menikah kami tinggal berjauhan karena alasan pekerjaan. Namun, kami
sama- sama masih ingat bahwa kami menyimpan kedua kain Lawo di almari rumah
kami. Suatu saat pada momen acara tertentu, saya ingin memakainya bersama
dengan suami saya.Simbol keseragaman dan persatuan kami. Kain Lawo Ende, hadiah
teristimewa untuk suamiku.
NTT? jauhnya.....
BalasHapussalam kenal saja mbak, btw motif kainnya bagus
iya jauh sekali SM3T nya sekarang sudah tidak ada lagi ya SM3T
HapusMantap postingannya :D
BalasHapusSalam
http://pak-pandani.blogspot.co.id/
makasih pak
Hapus