Pora adalah salah satu desa yang terletak di Kabupaten Ende, NTT. Di desa ini kebudayaan masih sangat kental dijunjung tinggi masyarakatnya. salah satunya adalah pesta adat Jokaju.
Malam itu, suara gong kecil bertalu- talu. Segera kami beranjak ikut memukul apa- apa saja di sekitar kami. Saya pukul pintu, teman- teman saya memukul bilik rumah kami dan memukul- mukul lantai. Seru dan ramai sekali, terdengar sara pukulan jrigen- jrigen kosong yang sangat keras dari luar sana. Sementara tak lama kemudian listrik mati. Acara pukul- pukul benda masih tetap berlangsung. Cukup lama memang. Namun, ketika sudah cukup lelah kami memukul- mukul, saya keluar dan bertanya pada tetangga,
“ini pukul- pukulnya sampai kapan Irr? Kok masih saja kedengeran suara gongnya?”
dan ia menjawab, “pukul terus Ibu, sampai gongnya berhenti.”
Saat itu saya lihat dia tidak memukul benda apapun. Lalu saya tanyakan, “Irr, kok kamu tidak ikut pukul- pukul?”
Dan ia jawab, “saya tidak mau Ibu, capek.”
Saya kira acara pukul- pukul mesti dilakukan semua orang sebagai bagian dari adat yang harus dihormati. Ternyata tidak. Namun, malam itu sungguh berkesan. Malam pembukaan pesta adat.
Hari- hari sebelumnya, telah dilakukan pemburuan kambing , ayam, dan babi. Yang pertama diburu adalah kambing. Selama masa berburu, kambing- kambing warga disembunyikan di rumah- rumah dan ada pula yang tetap ditinggalkan di kebun tetapi berada di tempat tersembunyi. Bahkan ada seekor kambing yang sengaja dipotong telinganya oleh si pemilik agar tidak terpilih sebagai hewan buruan. Kasihan sekali kambing itu. Beberapa hari pencarian kambing dilakukan oleh keluarga rumah besar, atau penghuni rumah adat yang berwewenang mencari kambing hingga pada akhirnya diperoleh seekor kambing jantan cukup besar yang ditinggalkan di pinggir kampung.
Dua hari selanjutnya pencarian ayampun dilakukan. Yang mendapat tugas mencari ayam adalah anak- anak dan beberapa orang laki- laki. Mereka mencari ayam di sekitar kampung. Dimulai dari bagian selatan, tengah, dan lanjut ke utara. Dengan bersenjatakan tongkat- tongkat kayu, anak- anak ramai sekali dan bersemangat mencari ayam. Akhirnya diperoleh beberapa ekor ayam dan pada hari yang sama diperoleh seekor babi. Sekian banyak hewan yang diperoleh diikhlaskan oleh pemiliknya. Konon dulu pernah ada yang meminta kembali hewan yang tertangkap karena masih ingin dipelihara, akhirnya si pemilik hewan tidak pernah berhasil memelihara hewan apapun. Hewan peliharaannya sakit dan mati. Pokoknya tidak bisa pelihara hewan sampai sukses. Itulah sebabnya orang- orang rela hewan yang telah ditangkap diambil dan usaha mereka hanyalah dengan menyembunyikan hewan peliharaanya supaya tidak tertangkap.
Acara dilanjutkan dengan pembukaan pesta adat. Seperti yang telah terdapat di awal cerita. Pembukaan dilakukan dengan memukul gong tanda pesta adat Jokaju telah dimulai. Pada saat itu pula dilakukan upacara di pinggir kampung. Di tempat yang berbatu- batu yang sudah turun temurun dijadikan tempat untuk melakukan pembukaan pesta adat. Di sana, dilakukan acara makan- makan tepat saat listrik dimatikan. Dimana saat itu dilarang bagi seorangpun yang ikut acara itu membawa senter, atau sumber cahaya lainnya. Dalam acara tersebut, dilakukan acara makan daging ayam, kambing, dan babi yang dimasak bersama tanpa bumbu dan dimakan dengan alas tangan. Kemudian kepala- kepala hewan tersebut dibuat persembahan. Hampir sama maksudnya seperti acara- acara adat budaya di daerah lain.
Selanjutnya selama 4 hari ke depan acara Jokaju dimulai. Selama itu warga tidak diprkenankan bekerja kecuali pegawai. Kegiatan yang dilakukan hanyalah menari siang dan malam hari serta kegiatan harian di rumah. Ada berbagai larangan pada acara pesta adat Jokaju, antara lain: dilarang melukai tanah (menyapu halaman), dilarang melukai tumbuhan (memetik dan atau menginjak tanaman), dan dilarang menjemur pakaian di luar rumah (menjemur di samping rumah yang tidak terpampang masih diperbolehkan). Saat itu pula tidak ada warga yang pergi ke kebun kecuali untuk memberi makan hewan peliharaannya yang ditinggalkan di kebun. Warga telah siap dari beberapa hari sebelumnya mengumpulkan kayu bakar dan bahan makanan yang biasa didapatkan di kebun. Sengaja ditimbun di rumah sebagai persiapan pelaksanaan pesta adat Jokaju.
Hari pertama, suasana cukup ramai. Terutama di sekitar rumah adat. Di halaman rumah adat itulah tempat dilaksanakannya tari- tarian adat. Pada pagi hingga sore hari ada acara menari bersama. Siapa saja yang datang baik untuk menonton maupun menari harus menggunakan sarung lawo (bagi wanita) dan sarung ragi (bagi laki- laki). Namun untuk yang mau ikut menari harus menggunakan lambu (pakaian adat ende bagi perempuan), sementara laki- laki bebas menggunakan atasan apa saja. Bagi warga yang akan ikut menari harus menanggalkan alas kakinya di arena menari. Pada saat itu dari anak- anak hingga remaja dan dewasa semuanya ikut menari. Aturannya adalah siapa saja yang diberi selendang harus mau menari dan setelah menar baru memberikan selendang pada orang lain untuk bergantian menari. Nah, selain itu pemberian selendang dilakukan dari laki- laki ke perempuan dan dari perempuan ke laki- laki. Jadi harus pada orang yang berlainan jenis. Jika sudah diberi selendang tidak mau menari maka akan dikenai denda bisa berupa moke(minuman keras khas Ende), ayam, kambing, atau bahkan babi.
Pada malam hari diadakan tari Gawi, tarian adat Ende. Tarian ini lain dengan tarian pada siang hari. Tarian ini dilakukan oleh laki- laki dan perempuan dari berbagai umur dari anak- anak hingga nenek- kakek. Sesama perempuan saling bergandengan dengan menyilangkan siku, sementara sesama laki- laki hanya bergandengan tangan biasa. Barisan laki- laki dan perempuan dipisah. Bentuk barisannya melingkar namun tidak tertutup, laki- laki di dalam dan perempuan di luar. Di tengah- tengah ada seorang yang menyanyikan lagu dengan bahasa Lio, semangat sekali hingga suaranya serak- serak. Di ujung lingkaran dalam ada seorang penari laki- laki yang menari layaknya pemimpin. Dengan memegang suatu benda yang menurut saya sangat mirip dengan ekor kuda, lelaki itu memimpin tarian dengan semangat menggebu mengikuti alunan lagu yang dibawakan. Lagu yang dinyanyikan juga hanya dari suara seorang penyanyi dan tidak diiringi musik. Sesekali para penari juga ikut menimpali lagi tersebut. Gerakan tariannya mengikuti irama lagu dan semua menari dengan gerakan yang sama, yang diutamakan adalah kaki karena tangan bergandengan. Laki- laki menari dengan lebih bersemangat sementara perempuan menari dengan lembut. Nuansa persaudaraan sangat kental terasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar