PESAN UNTUK SAHABAT


22/07/2012
Dulu, dia meninggalkan Irfan sendirian menatap senja karena ketakutannya mengganggu sahabatnya itu. Kini, giliran Irfan meninggalkannya memandang senja setiap sore.
Di sebuah batu besar di tepi pantai. Itulah tempat favorit mereka kala menikmati bias matahari di permukaan laut yang tenang hingga batas cakrawala dengan kecipak kecil di ujung ombak yang pecah oleh bebatuan di pantai.
Kini ia sendirian, menatap senja tanpa merasakan keindahannya. Damai yang ia harap tak ia dapatkan disana. Dia merasa sepi, suara kecipak air dan burung- burung yang beterbangan menuju sarangnya tak cukup mengubah suasana hatinya. Dia merindukan sahabatnya.
Sudah beberapa hari ia tak dapat berkomunikasi dengan Irfan. Terakhir ia menghubungi Irfan, hanya sepotong kalimat yang masih diingatnya, ”aku lagi ada urusan di luar kota hingga seminggu ke depan dan aku akan pulang”. Tidak ada penjelasan lain. Setiap hari ia berusaha mengirim sms dan mencoba menelponnya. Hasilnya nihil, tak ada sedikitpun kabar dari Irfan. Mulai dari sms mengenai cerita- cerita kesehariannya, minta maaf, menanyakan kabarnya, atau sekedar memberi semangat dan sampai- sampai hal-hal yang membuat jengkelpun ia kirimkan untuk sekedar mendapat balasan meski dengan menyulut api. Sungguh suatu hal bodoh yang dilakukannya, yang bahkan mungkin akan membuat Irfan makin membencinya. Entah, mungkin saking kalut hatinya. Dari sekian banyak sms yang ia kirim, hanya ada sekali respon. Sebuah doa untuk ibunya yang sedang sakit. Selebihnya nihil. Telponnya juga hanya sekali dua kali diangkat. Itupun dengan suara putus- putus dan tidak jelas apa maksud kata- katanya.
Hatinya telah penuh rasa rindu, penasaran, dan semua rasa. Ingin ia meluapkan perasaannya, mengatakan pada Irfan, “sungguh aku merindukanmu, candamu, jailmu, dan perhatianmu sahabat. Kau sahabat terbaikku, jangan pergi meninggalkanku. Tolong jangan putus ikatan ini. Tali persaudaraan yang telah kita rajut dan ikat bersama karena itu sangat berharga bagiku.”
Pada beberapa hari di awal kepergian Irfan, ia selalu menangis di batu itu sambil menatap matahari yang beranjak tenggelam seolah ikut merasakan kepedihannya. Namun, belakangan ia sadar Irfan juga punya sahabat yang lain yang juga membutuhkannya. Mungkin Irfan sedang bersama kawan- kawannya, begitu ia mencoba menghibur diri.
Perasaannya tak cukup kuat ternyata. Ia rapuh, ketika kembali duduk di batu besar di tepi pantai, ia selalu teringat masa- masa yang telah lalu. Hatinya saling beradu rasa, tak karuan. Di satu sisi mengatakan, “dia marah padamu karena mungkin ada kata- katamu yang tidak disukainya, mintalah maaf”. Di sisi lain, “dia sibuk, entak pekerjaan atau bertemu kawan-kawannya, sabarlah ketika kesibukannya berkurang pastilah dia akan menghubungimu. Sementara ini jangan mengganggunya dulu”. Ada satu sisi pula yang mengatakan, “mungkin ia sengaja tidak meresponmu, ingin menyendiri sementara atau memang berniat melupakanmu karena suatu hal mungkin.”
Begitulah, pikirannya berkecamuk antara prasangka baik dan buruk. Ia selalu berusaha berprasangka baik, tapi apalah daya dia juga manusia biasa yang sekali waktu timbul prasangka buruk dalam hatinya. Ingin sekali ia memperoleh jawaban dari segala rasa penasaran dalam hatinya.
Akhirnya, ia memutuskan. “aku akan berusaha bersabar hingga sampai pada suatu hari nanti. Hari dimana mungkin urusannya akan selesai dan akan kembali. Ya, akan kutunggu waktu itu. Aku hanya ingin tahu kenapa. Itu saja dan tak lebih. Supaya tenang hatiku dan tak ada lagi prasangka yang tak semestinya. Aku sungguh menanti hari itu. Entah kapan, aku ingin jawaban......”. Tak terasa air matanya kembali meleleh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.